Mengenang Datuk: Tentang Keteladanan dan Keikhlasan
Hari ini, setelah berjibaku dengan sakit selama dua minggu terakhir. Datuk memilih pulang. Beliau kembali kepada Rabb dengan senyum di wajahnya--sebagaimana yang beliau lakukan setiap hari dalam hidupnya.
Kehilangan datuk merupakan salah satu bentuk kesedihan yang sangat luar biasa. Keteladanan, keikhlasan, dan kasih sayangnya kepada anak dan cucunya begitu melekat secara mendalam. Datuk, di usia senjanya yang menginjak 81 tahun, sudah selesai dengan dirinya. Semua perjalanan hidupnya dilakukan atas dasar pengabdian dan perjuangan kepada masyarakat serta keluarga.
Sebagai pensiunan guru, semasa aktif mengajar beliau setiap hari menerjang sulitnya akses jalan menuju sekolah untuk memberikan ilmu kepada para muridnya. Dengan sepada motor GL-Pro yang terkenal di eranya, beliau tidak kenal lelah untuk datang ke sekolah. Semangat itu terjaga selama puluhan tahun sampai tiba masa purna tugasnya.
Datuk pun selalu memberi nasihat kepada anak cucu tentang betapa berharganya sebuah ilmu. Energi ini pun disebarkan kepada keluarga dan para masyarakat. Ketika masih aktif mengajar, apabila pergi ke kota, beliau selalu pulang membawa majalah Bobo sebagai bahan baca untuk para anak-anak beliau. Setiap bertemu dengannya, teringat pesan "Belajar yang benar ya, ji. Terkhusus ilmu agama. Baca buku apapun, nanti jika kurang itu buku milik Datuk ada di almari. Kamu baca dan rawat ya."
Pesan tersebut selalu diulang di setiap pertemuan dengan beliau. Tentunya, pesan tersebut menjadi salah satu yang mendorong saya bisa melangkah dan menyelesaikan jenjang sarjana ini. Sebagai cucu beliau, ikatan saya dan Datuk pun bisa dibilang sangat dekat. Selama 6 tahun, saya tidur bersama Datuk. Dari kelas 1 sampai 6 SD. Sepulang mengaji di malam hari, saya dan Datuk berbagi kasur. Baru pagi harinya setelah sarapan saya pulang ke rumah untuk sekolah.
Banyak memori selama 6 tahun tersebut. Tentang sarapan bersama, tentang teh hangat tanpa gula, tentang bangun subuh dan mandi paginya (rutinitas orang tua yang mungkin jarang kita temukan sekarang). Tentu paling ingat jika asma saya kambuh, Datuk selalu sigap mengambil obat dan membenarkan selimut untuk menghangatkan tubuh.
Begitu sayangnya beliau kepada para cucu, membuat datuk rela membagikan dana pensiun setiap bulan. Saya pun dari SMA sampai kuliah, mendapat cipratan itu. Datuk tidak pernah telat memberi 'subsidi'--istilah beliau, di setiap bulan.
Tuk, sekarang tiada lagi sosok yang 'cerewet' dan suka menasihati tentang pentingnya ilmu.
Tuk, sekarang ketika pulang ke rumah, hanya ada nenek seorang.
Tuk, sekarang tiada lagi yang selalu memberikan senyum khas dan menyapa siapa saja yang datang di depan rumah.
Lapangan jalanmu ya, tuk. Semua kenangan tersimpan hangat. Ajie selalu mendoakan datuk seterusnya. Sampai bertemu di lain waktu, Datuk.
Allahumma jannata matswahu. Al-fatihah.
-Ditulis dalam perjalanan pulang dari Jogja menuju Lampung, 9 Juli 2023.
No comments: